Siwan RRI : Mengatasi Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
Bulan Februari 2012 lalu, Koordinator Pusat Studi Wanita Dra. Sherly Hesti Erawati, MM mengudara kembali di acara Siaran Wanita (SIWAN) di RRI dengan tema “Mengatasi Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Melalui Budaya dan Agama”.. Berikut ini sekilas cuplikan materi beliau..
Kekerasan terjadi berangkat dari bagaimana seseorang melihat dan merespon persoalan di dalam rumah. Apakah dalam prakteknya dia terlibat dengan berbagai hal dalam rumah ataukah hanya menjadi bagian saja. Pandangan terhadap rumah ini sangat berpengaruh pula pada munculnya stereotype, stigma ataupun bias gender. Rumah bisa diartikan sebagai tempat berlindung, tempat yang hangat, seperti rahim dimana anak-anak berlindung sebelum dilahirkan, tempat untuk kembali sesudah bepergian. Oleh budaya rumah lalu diidentikkan dengan perempuan yang memberi kenyamanan, melindungi, memberi kehangatan dan memelihara kehidupan. Maka tempat yang paling tepat bagi perempuan adalah dalam rumah (domestic). Karena itu ada sebutan ibu rumah tangga, yang merujuk pada perempuan yang melakukan aktifitas diseputar rumah tangga. Jarang bahkan sangat susah dicari untuk sebutan bapak rumah tangga, karena laki-laki tidak mengerjakan tugas-tugas dalam rumah tangga. Pembantu Rumah Tanggapun selalu merujuk pada perempuan.
Migrasi perempuan dari rumah ke pabrik, karena tuntutan kondisi ekonomi keluarga yang mengharuskan perempuan pada sektor formal maupun informal, ternyata memunculkan persoalan baru. Stereotipi “hanya” ibu rumah tangga memunculkan stigma bahwa perempuan tidak cukup mampu, tidak cerdas, saat ada di area public untuk bekerja berdampak pada gaji yang lebih kecil/murah dari laki-laki. Pada perjalanannya perempuan semakin berat karena dia harus menanggung beban ganda, menjadi pekerja disektor public sekaligus harus menyelesaikan pekerjaan dalam rumah tangga (domestic). Adanya stereotipi, akhirnya memunculkan ketidakadilan gender.
Untuk meretas stereotipi, stigma ataupun bias gender, dimulai dari generasi anak-anak kita. Bagaimana mendidik anak-anak dengan kondisi dan situasi yang adil gender. Bagaimana membagi pekerjaan rumah tanpa membedakan ini pekerjaan anak perempuan dan ini pekerjaan anak laki-laki. Mengajarkan anak-anak perempuan ketrampilan teknis ataupun berpikir logis sama pentingnya dengan mengajarkan anak-anak laki-laki akan kehalusan perasaan ataupun mengerjakan pekerjaan rumah tangga lain. Akan menjadi sangat mungkin muncul istilah bapak rumah tangga yang diucapkan dan dilakukan dengan kebanggaan, seperti halnya perempuan menyebut ibu rumah tangga tidak dengan menambahai kata “ hanya “.
Dari sudut pandang agama, kekerasan sangatlah bertentangan dengan Al-Quran. Karena menekankan penafsiran yang memasukkan penindasan, ketidaksetaraan, dan patriarkhi ke dalam pembacaan Al-Quran harus dipandang sebagai pembacaan yang keliru, karena ia mengaitkan kezaliman terhadap perempuan kepada Diri Tuhan. Salah satu ajaran Al-Quran paling radikal menegaskan kesetaraan gender dalam Islam dan menyanggah gagasan tentang perbedaan dan hirarki gender adalah yang berkaitan dengan penciptaan manusia. Seperti yang dilukiskan dalam Al-Quran, laki-laki dan perempuan berasal dari satu Diri (nafs), dianugerahi sifat kemanusiaan yang sama dan menjadi belahan dari salah satunya.
Al-Quran tidak memandang perbedaan sebagai bentuk ketidaksetaraan, dan bukan pula sebagai bentuk kecacatan. Sebaliknya, menurut Al-Quran perbedaan tersebut berfungsi sebagai sarana untuk saling mengenal antarsesama. Al-Quran memandang laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang sama untuk menalar. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa Al-Quran menjadikan orang beriman sebagai penolong satu sama lain (lihat Q.S. 9:71). Tindakan saling membantu itu hanya mungkin terjadi tanpa keberadaan hirarki dan ketidaksetaraan yang didasarkan pada perbedaan gender. Namun, lembaga patriarkhi tetap memasukkan hirarki, ketidaksetaraan, dan perbedaan ke dalam Al-Quran, biasanya dengan membuat perbedaan antara wilayah moral dan sosial.
Islam meletakkan pernikahan pada posisi persimpangan antara ranah sosial dan moral keagamaan. Pernikahan ditempatkan dalam wilayah muamalah karena sifatnya yang kontraktual dan juga dalam wilayah ibadah karena hak sebagai suami isteri serta sebagai orang tua diperoleh melalui keimanan. Jadi, untuk mendefinisikan hubungan suami-isteri, Al-Quran menggariskan prinsip kesamaan dan kesetaraan fitrah kemanusiaan. Suami-istri bukan saja memiliki fitrah yang sama, tapi juga dapat saling mencintai dan hidup dalam kedamaian (sakinah, mawaddah, rahmah: baca bukan “ta`ah”, ketaatan), dan keduanya dibebani standar nilai etika yang sama.
Semoga bermanfaat dan menginspirasi..