Caleg Perempuan Jangan Jadi Pantes-pantesan
Peran politik kaum perempuan Indonesia tengah diuji melalui kesempatan yang lebih besar untuk duduk dalam pemerintahan. Bila selama ini gerakan emansipasi maupun penganut gender selalu berteriak menuntut kesamaan hak dan kesempatan untuk berkiprah pada domain publik, maka kuota 30 persen di kursi legislatif (DPR dan DPRD) pada pemilihan umum 2009, harus mampu menjadi awal kebangkitan kaum perempuan.
Tantangan sebenarnya tentu bukan pada semakin banyaknya jumlah kaum perempuan yang berkiprah dalam politik, melainkan integritas, visi, dan komitmen kaum perempuaan ini saat berada di lingkaran tertinggi perumus kebijakan. Berikut pandangan Nevi Danila MBA PhD, praktisi perempuan serta Ketua STIE Malangkucecwara ini kepada Mas Bukhin dari KORAN PENDIDIKAN.
Sebagai praktisi pendidikan dan juga seorang perempuan, bagaimana anda menyikapi adanya kuota 30 persen kaum perempuan di legislatif ini?
Saya share di awal dulu, bahwa saya bukanlah seorang penganut gender yang harus kekekuh melihat segala aspek kehidupan ini harus berimbang dan sama antara laki-laki dan perempuan, begitu juga dalam kehidupan politik. Sehingga bagi saya, bukan masalah besar berapapun kuota yang diperuntukkan bagi kaum perempuan di legislatif, mau 30 persen, mau 50 persen, silahkan saja.
Tetapi sebagai seorang perempuan tentunya ada kebanggaan juga dong dengan kesempatan besar ini?
Pastinya. Terlepas dari bagaimana kiprah dari kaum perempuan ini nanti dalam politik dan pemerintahan, adanya kesempatan besar bagi kaum perempuan melalui kuota 30 persen ini sudah menjadi langkah mengedukasi yang bagus.
Oke. Diawal tadi anda sebut bila tidak (seharusnya) ada masalah ‘gender’ dalam politik. Apa ukuran ideal menurut anda?
Mengukur sesuatu yang ideal, bagi saya bukan soal di politik saja, pada bidang kehidupan manapun ukurannya adalah kompetensi. Senyampang seseorang itu (laki-laki atau perempuan) dipaksa untuk suatu kiprah yang dia tidak memiliki kompetensinya, hasilnya tidak akan baik. Begitu juga dengan politik, jangan sampailah nantinya kaum perempuan hanya jadi pantes-pantesan saja di gedung DPR.
Apa menurut anda kaum perempuan sekarang belum memiliki kompetensi untuk berkiprah dalam politik?
Mari disaksikan sendiri, boleh dilihat juga dari banyak pemberitaan. Semenjak kuota 30 persen kaum perempuan ini ditetapkan, tidak sedikit partai politik yang kesulitan mencari calon legislatif dari kaum perempuan. Berkas-berkas pencalegan mereka dikembalikan KPU sebab belum memenuhi kuota. Di sisi lain, banyak calon legislatif perempuan yang selama ini akrab dikenal sebagai publik figur, artis, atau selebritis. Ini kan ada kesan asal comot saja kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan politik.
Apa ini berarti anda meragukan kompetensi mereka?
Bukan, saya mencoba mengukur dari minat saya sendiri pada politik. Jujur, saya ini bukan orang yang tertarik terhadap politik, tapi bukan apolitis.
Bagaimana sih politik itu menurut anda?
Menurut saya politik itu bidang kehidupan yang sangat keras. Penguasaan ilmu pengetahuan, komitmen, dan integritas mutlak dimiliki. Di samping itu harus didukung dengan idealisme yang tinggi serta mampu memahami seni dalam berpolitik. Makanya politik bukan semata urusan gender, siapapun bisa berpeluang membuka kiprah di sana. Sedari awal tadi saya juga sebut tidak ada masalah berapapun kuota bagi kaum perempuan dalam kursi legislatif pada pemilu mendatang.
Ya. Tapi harus diakui pula bahwa banyak kalangan berharap bila semakin besar kuota kaum perempuan di legislatif nanti bisa turut ‘memperbaiki’ nasib kaum perempuan sendiri?
Pada satu sisi benar, ini satu momen penting dan peluang besar bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan hak dan kesempatannya sendiri. Melalui pintu politik, kaum perempuan harus berjuang menyamakan hak-haknya bagi kaum perempuan yang lain di semua aspek kehidupan. Mulai dari pendidikan, kesehatan, sosial, keagamaan, dan lain-lain. Sebut saja misalnya soal kesehatan dan pendidikan, bila selama ini dinilai belum memberi ruang yang besar bagi kaum perempuan, maka kuota 30 persen kaum perempuan di legislatif harus bisa mendobrak itu.
Anda sebut tadi hal itu benar pada satu sisi, lalu apa yang seharusnya lebih ideal dilakukan?
Ya namanya legislatif, seorang wakil rakyat, maka kaum perempuan sekalipun saat duduk di pemerintahan, tidak harus melulu mengedepankan kaumnya sendiri. Semua harus bersandar pada kepentingan rakyat dan orang banyak. Inilah yang di awal tadi saya sebut bahwa butuh ideologi tinggi bagi siapapun (laki-laki dan perempuan) yang berkiprah dalam politik. Ideologi itu tentunya ideologi kerakyatan.
Menyimak pandangan anda di atas kemudian menelaah kondisi kehidupan kaum perempuan hingga sekarang ini, sepertinya sudah terjadi ketimpangan?
Ketimpangan keberpihakan kehidupan politik antara laki-laki dan perempuan itu menurut saya terjadi karena faktor ideologi kerakyatan yang belum mendarah daging. Kehidupan politik yang seharunya berorientasi pada integritas dan komitmen untuk berjuang demi rakyat dan mewakili rakyat ternyata lebih banyak berjalan timpang. Padahal dalam dasar negara serta institusi negara kita sudah demikian tegas menempatkan kepentingan rakyat itu di atas segala-galanya.
Bisa sedikit diberikan gambaran nggak soal ketimpangan ini?
Ya kenapa misalnya dalam bidang kesehatan dan juga pendidikan, kaum perempuan masih mendapat hak dan juga kesempatan yang kurang bagus. Ini bukan saja perkara kebijakan yang lahir oleh karena perumus kebijakan di legislatifnya di dominasi oleh kaum laki-laki saja, melainkan rendahnya pemahaman atas ideologi kerakyatan. Harusnya setiap kebijakan yang lahir itu benar-benar bisa mencerminkan kebutuhan semua rakyat, baik laki-laki maupun perempuan.
Berarti sekali lagi bahwa anda menilai kuota 30 persen kaum perempuan dalam legislatif itu masih butuh ditunjang oleh kompetensi dan integritas?
Benar, tanpa itu kuota akan habis sebagai kuota. Jumlah kaum perempuan saja yang semakin banyak di kursi legislatif tanpa bisa membawa perubahan besar yang lebih berarti. Amat sayang bila kaum perempuan hadir di legislatif sebagai pantes-pantesan saja tanpa berupaya untuk berjuang keras mewakili kepentingan semua rakyat.
Terakhir, anda pernah menjalani studi di dua negara besar, Amerika dan Australia. Bisa digambarkan bagaimana kiprah politik kaum perempuannya, termasuk perjuangan mereka?
Di sana memang saya pure melakoni studi, tanpa turut terjun lebih dalam menelaah kondisi kaum perempuannya, apalagi dalam kiprah di dunia politik. Tapi satu hal yang menarik pengamatan saya, bahwa pada negara yang menganut liberalisasi kehidupan dan tanpa batas gender itu, and toh masih nampak juga pola-pola diskiriminasi pada kaum perempuannya. Semisal pada penentuan gaji bagi laki-laki selalu lebih tinggi dari perempuan meski pada level yang sama. Usut punya usut, di sana profesionalitas kaum perempuannya masih dikurangi oleh cuti hamil serta hal-hal lain yang berhubungan dengan kodrati kaum perempuan
sumber: www.koranpendidikan.com